Pada suatu ketika dahulu, adalah
sepasang suami istri petani yang bermukim di pinggir sebuah telaga atau danau.
Telaga itu diberi nama telaga Raja yang dihuni oleh seekor buaya siluman yang
bernama Dan Dendang. Di dalam telaga itu terdapat banyak udang. Sayangnya,
tidak ada yang berani untuk menjala udang itu walaupun udangnya sudah
besar-besar. Penduduk yang ada di sekitarnya menganggap telaga itu angker.
Siapa yang melanggar kutukan akan menderita penyakit aneh yang tidak ada
obatnya.
Istri sang petani kebetulan sedang
mengandung anak pertama. Kebiasaan perempuan hamil adalah mengidam, yaitu ingin
memakan sesuatu yang kadang sulit untuk diusahakan oleh suaminya. Ia mengidam
udang yang berasal dari telaga Raja. Puas sang suami membujuk agar istrinya
minta udang dari sumber yang lain saja. Tapi istrinya tidak mau mendengarkan.
“Dinda, tolonglah jangan minta udang
dari telaga itu, pakah dinda mau kanda kena kutukan?” Si suami membujuk dengan
nada mengancam.
“Pokoknya dinda mau udang dari telaga
tu juga, apakah kanda mau anak kita nanti lahir tidak sempurna karena tidak
mendapatkan apa yang diinginkan” Si istri balik bertanya juga dengan ancaman.
Petani itu tidak punya pilihan. Dengan
berat hati berangkatlah dia dengan membawa jala ke telaga itu. Hari pertama
menjala tak seekor udangpun dapat dibawa pulang. Istrinya begitu kecewa dan
bersikeras bagaimanapun caranya sang suami harus dapat udang yang ia ingini.
Hari kedua sang suami pergi menjala
kembali. Antara percaya dengan tidak dia mendengar seorang yang berbicara
kepadanya.
“Istri tuan akan mendapat udang yang
diinginkan kalau tuan mau memenuhi syarat hamba”
Petani itu melihat sekeliling tapi
tidak ada orang. Merasa tidak ada orang dia kembali menebarkan jala. Suara itu
kembali didengarnya.
“Istri tuan akan mendapat udang yang
diinginkan kalau tuan mau memenuhi syarat hamba”
Kembali lagi dia mencari arah suara
itu, tapi tidak ada siapapun yang dilihatnya. Dia yakin mendengar suara itu dan
datangnya dari dalam telaga. Sambil menarik jalanya petani itu menjawab dengan
ketakutan.
“Apa syaratnya hai san suara?”
“Syaratnya jika anak yang akan
dilahirkan oleh istri tuan adalah perempuan maka ia harus dikawinkan dengan Dan
Dendang penunggu telaga ini ketika dia sudah berumur 20 tahun. Petani itu tidak
menjawab dan segera meninggalkan telaga itu dan pulang kerumah. Lalu
diceritakannyalah pada sang istri perihal suara itu. Sang istri meminta pada
suami untuk menuruti saja persyaratan tersebut karena dia sudah tidak tahan
lagi ingin mencicipi udang di telaga itu.
Hari ketiga petani itu kembali lagi ke
telaga. Sebelum menebar jala ia berkata.
“Hai penunggu telaga aku terima
persyaratanmu”
Lalu dicampakkannya jala ke dalam
telaga. Aneh bin ajaib, seolah-olah seperti diperintahkan tiba-tiba saja udang-udang
dalam itu mengejar jala yang ditebarkannya. Gembiralah petani itu dan langsung
membawa udang-udang itu pulang.
Singkat cerita istri petani itupun
melahirkan anak perempuan. Tanpa terasa anak itu tumbuh menjadi gadis remaja
yang cantik dan mempesona. Kedua petani itupun mulai resah memikirkan
pertunangan anak gadisnya dengan buaya Dan Dendang. Bagaimana mungkin makhluk
dari dua jenis alam yang berbeda bisa disatukan dalam sebuah rumah tangga.
Setiap hari mereka berharap dan berdoa semoga Dan Dendang tidak menuntut
janjinya.
Pada suatu hari berlabuhlah sebuah
perahu asal dari tanah bugis di pelabuhan yang tidak jauh dari kampong petani
itu. Perahu itu milik saudagar kaya lagi tampan. Dari atas perahunya saudaga
iru melihat ada seorang gadis yang rupawan sedang bermain-main di pantai. Dia
pun turun dari kapalnya dan mendekati gadis itu. Setelah berkenalan sang
saudagar langsung tertarik pada kecantikan sang putrid begitu pula putrid juga
terkena hati terhadap saudagar bugis tersebut.
Ayah dan Ibu si
gadis heran melihat putrinya akhir-akhir ini semakin sering sendirian ke
pantai. Untuk memenuhi keingintauan itu maka dibuntutilah si gadis oleh
ayahnya. Terkejut bukan main ayahnya ketika ada seorang saudagar tampan yang
menunggu di pantai.
“Nanda
siapa yang nanda temui di pantai itu?”
Ayah
gadis itu langsung bertanya ketika sang gadis sudah sampai di rumah kembali.
Dengan
tergagap-gagap karena terkejut mendengar suara ayah si gadis menjawab.
“Di..di..diaa
sss..sauda..gar dari bugis dan…di.di..dia… bermaksud akan..”. Lama si gadis
terdiam dan kemudian dengan menunduk dia kembali meneruskan katanya.
“akkan…meminang
ananda”. Alangkah kagetnya sang ayah dan ibu ketika mengetahui anaknya sudah
terlalu jauh melangkah tanpa meminta pendapat mereka. Entah perasaan apa yang
ada di dalam hati kedua petani itu yang jelas mereka segera teringat perjanjian
dengan Dan Dendang yang tidak mungkin dibatalkan lagi. Dengan berat hati kedua
orang tuanya menceritakan janji yang telah mereka ikrarkan dengan buaya Dan Dendang
itu 20 tahun yang lalu.
Semenjak
mendengar cerita orang tuanya, sang gadis sering termenung di tepi telaga
memohon agar buaya Dan Dendang membatalkan niatnya untuk memperistrikan
dirinya. Melihat hal itu, sang ayah dan ibu khawatir anaknya akan gila atau
bunuh diri. Akhirnya mereka memutuskan untuk menerima pinangan saudagar bugis.
Anehnya
semenjak bertunangan dengan saudagar bugis justru sang gadis semakin asik
bermain ke tepi telaga seolah-olah ada yang mengajak dirinya untuk selalu duduk
dipinggir telaga Raja. Dan tidak lama setelah itu orang tua si gadis panic luar
biasa karena tiba-tiba saja anak gadisnya disambar oleh seekor buaya yang besar
dan dibawa masuk ke dalam telaga.
Dalam
sekejap saja berita itu sudah tersebar keseluruh kampung. Ramailah orang
berbondong-bondong dating ke rumah petani itu untuk ikut berduka cita dengan
musibah yang menimpa meraka.
Dalam
kedaan berduka cita itu tiba-tiba mereka dihebohkan lagi oleh berita bahwa sang
gadis sedang berada di atas punggung buaya di tengah lautan. Orang tua si gadis
dan penduduk kampung bingung, bagaimana mungkin buaya dan gadis itu bisa berada
di tengah lautan karena jarak telaga dan laut itu jauh dan tidak ada sungai
yang menghubungkannya.
Di
laut, Dendang menganjung tinggi. Dia berkeliling dan memberitahukan bahwa hari
itu resmi mempersunting anak petani yang telah dipinangnya dua puluh tahun yang
lalu. Di atas punggungnya anak gadis itu meraung-raung minta tolong gar
dilepaskan.
Melihat
hal itu orang tua gadis itu dan orang kampung mufakat untuk mengumpulkan sabut
kelapa sebanyak mungkin kemudian dibakar dan dilemparkan ke laut. Melihat laut
penuh dengan nyalanya api, buaya itupun murka. Dengan penuh kemarahan
ditelannya semua sabut-sabut yang dibakar. Perlahan perut Dan Dendang mulai
terasa panas, lama kelamaan dia panic dan tidak tahu lagi kemana harus lari.
Ditabraknyalah daratan dengan kekuatan saktung sehingga sekarangadanya terusan
kelaut bernama salad Pedada, di Kecamatan Ketenan. Ketika ia menabrak daratan
terpelantinglah si gadis dan cepat diselamatkan oleh orang-orang kampung.
Menurut
cerita Dan Dendang dengan penuh luka berasil lepas ke laut lepas. Begitu
banyaknya darah yang keluar dari luka tersebut membuat ia kehabisan darah dan
akhirnya mati di tengah laut dan bangkainya berubah menjadi pulau. Orang-orang
menyebutnya Pulau Buaya. Sekarang pulau tersebut telah termasuk ke dalam
provinsi Kepulauan Riau. Menurut cerita juga apabila air laut pasang maka
pasanglah air telaga Raja, begitu pula surut, surut pula air telaga tersebut.
Jangan lupa tinggalkan pesan di komentar:))))
Jangan lupa tinggalkan pesan di komentar:))))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar