Jumat, 05 April 2013

Sebuah Upacara Pembunuhan bernama Ujian Nasional

Ketika saya menulis tulisan ini waktu menunjukkan pukul 00.01 tanggal 31 Maret 2013, tepat 15 hari sebelum saya akan mengikuti sebuah kegiatan mematikan, bernama Ujian Nasional.
Sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri saya, saya adalah seorang pelajar SMA. Saya tidak bodoh dan juga tidak terlalu pintar. 3 tahun lalu mungkin saya tidak akan mengira ending dari status saya sebagai pelajar harus diakhiri dengan cara sekejam ini; 20 paket, barcode dan pengetatan pengawasan.
Pertama, saya ingin membahas masalah 20 paket. Berdasarkan analisis saya sebagai seorang siswa, 20 paket itu jelas sebuah hal yang konyol. Bisa saya kongklusikan, ini adalah pertama kalinya di dunia. Dengan adanya soal 20 paket ini, akan membuat kami kewalahan, ya, ini seperti berjudi. Anggap saja pada paket 1 Matematika bagian limit yang keluar adalah hanya mengganti nilai x. Sedangkan pada paket 2 kami harus merubahnya dalam bentuk yang lain dulu. Ini adil? Tidak. Sama halnya dengan mata pelajaran non hitung-hitungan. Biologi contohnya, jika pada bagian evolusi paket 1 pertanyaan yang keluar adalah siapa pencetus teori abiogenesis, ini akan sulit jika paket 2 pertanyaannya adalah apa dasar pencetusan teori evolusi biologi. Ini adil? Tidak. Tentu saja saya tidak akan berbicara jika tidak ada dasar, sejauh ini saya sudah mengalami, di dua try out sebelumnya, ini terjadi, ya, ini nyata!. Jika 20 paket ini bertujuan untuk memperketat, jelas itu adalah salah langkah, dengan kejadian-kejadian di atas tentunya semua hal ini belum dipikirkan secara matang.
Kedua, barcode. Dengan adanya sistem seperti ini, Upacara Pembunuhan (Baca: Ujian Nasional) yang dilaksanakan secara paralel akan menjadi amat sangat sulit. Baiklah sepertinya kita harus batalkan anggapan bahwa UN akan 20 paket. Dengan adanya barcode ini, UN bisa jadi ratusan ribu paket. Kenapa? Karena barcode ini menunjukkan bahwa seluruh pelajar yang melaksanakan ujian tidak ada yg mendapatkan soal yang sama. Ya, karena memang itulah kegunaan barcode. Dan sepertinya kami para pelajar tidak akan mengetahui paket apa yang sedang kami kerjakan. Peran lembaga bimbingan belajarpun akan menjadi nol besar. Sudah bukan rahasia lagi, bimbel biasanya akan mengirimkan kunci jawaban seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Dengan adanya sistem barcode ini, itu menjadi mustahil. Tentunya kami tidak sedang mengharapkan bantuan bimbel tersebut, tapi kenapa harus mengatakan bahwa UN kali ini 20 paket?
Terakhir, pengetatan, sudahlah, kita pasti sudah membayangkan bagaimana nanti, di setiap sudut ada pengawas, CCTV, guru, dan beberapa pihak kepolisian, bayangkan!. Dengan adanya semua ini saya merasa tidak adil, kenapa kejadian ini harus menimpa angkatan kami. Jujur saya stress, depresi, kalian tahu itu karena saya menulis ini. Mungkinkah ini sebuah rencana yang diturunkan secara holistik yang diciptakan Tuhan? Entahlah, saya benar-benar takut dengan hal ini. Dengan beberapa analisis saya diatas, ini seperti menunjukkan bahwa kami para pelajar, siapapun itu, entah kaya-miskin, juara umun-bodoh ataupun unggul-reguler harus bersiap jika seandainya kami gagal. Ada dua hal yang harus kami persiapkan, pertama kesiapan materi otak kami untuk menjawab pertanyaan demi pertanyaan, dan yang paling penting, kesiapan psikis kami jika seandainya kami gagal dalam berperang. Ya, kami harus siap. Harus siap jika seandainya suara tangis pecah diantara keluarga-keluarga kami. Itukah yang kalian inginkan bapak-bapak yang terhormat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar