Tampilkan postingan dengan label Legenda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Legenda. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 April 2013

Legenda Pulau Sangkar Ayam


       Alkisah, di Pantai Solop, Indragiri Hilir, Riau, Indonesia, ada seorang guru mengaji dan silat yang bernama Tuk Solop. Umurnya sudah mulai udzur. Janggutnya yang lebat sudah berwarna putih. Jika berjalan, ia harus ditopang dengan tongkat sakti pemberian gurunya. Tuk Solop seorang guru yang sakti dan terkenal hingga ke pelosok negeri. Walaupun sakti, ia tetap rendah hati. Ia sangat sopan dan santun jika bertutur sapa. Kepada yang muda ia sayangi, dan kepada yang tua ia hormati. Ia memiliki banyak murid yang datang dari berbagai pelosok negeri. Namun herannya, sejak tujuh purnama yang lalu tidak ada lagi yang hendak berguru kepadanya. Murid-muridnya yang sudah tamat kini sudah pergi, tidak tersisa seorang murid pun.
Pantai Solop pun menjadi sepi. Sementara itu, tidak jauh dari Pantai Solop, ada sebuah dusun yang bernama Serimba. Di dusun itu ada seorang pemuda bernama Pendekar Katung. Ia sangat sakti dan memiliki ilmu silat tingkat tinggi. Kerisnya dapat menyala bagaikan halilintar. Tubuhnya kebal terhadap segala jenis senjata tajam. Namun, sifatnya bertolak belakang dengan sifat Tuk Solop. Ia sangat angkuh dan sombong. Ia memiliki berpuluh-puluh murid dan pengawal yang setia. Pendekar Katung adalah seorang pendekar yang kaya- raya. Ia menjadi kaya karena selalu menang taruhan menyabung ayam. Ia memiliki ayam jago yang belum terkalahkan. Sudah ratusan ayam yang mati oleh ayam jagonya itu, sehingga Pendekar Katung semakin terkenal sampai ke pelosok negeri. Pendekar Katung juga memiliki seorang adik perempuan yang cantik jelita bernama Suri. Sebenarnya, Suri bukanlah adik kandungnya, tapi ia adalah anak dari seorang penyabung yang sudah meninggal, karena mempertaruhkan nyawanya dengan Pendekar Katung. Ayah Suri dibunuh oleh pengawal Pendekar Katung di tengah hutan Serimba. Suri yang masih bayi saat itu kemudian diasuh oleh Pendekar Katung hingga menjadi seorang gadis cantik jelita. Pada suatu ketika, seorang pengembara muda datang ke Pantai Solop. Kedatangannya ke pantai itu hendak menuntut ilmu. Ia pernah mendengar bahwa di pantai itu ada seorang guru sejati yang tidak memiliki murid dan tengah mencari murid yang setia untuk mewariskan ilmunya, karena sebentar lagi akan menghadap kepada Yang Kuasa.
Sesampainya di Pantai Solop, pengembara muda itu kebingungan, karena tidak seorang pun yang ditemuinya. Ia hanya menyaksikan pantai pasir putih yang begitu indah dan deburan ombak yang memecah suasana sunyi. ”Kenapa tidak ada siapa-siapa di tempat ini? Di mana sang Guru itu?” tanya Pengembara Muda itu dalam hati.  Setelah melayangkan pandangan ke sekelilingnya, orang yang dicarinya tidak juga ditemukan. Akhirnya, untuk menghilangkan rasa letih setelah berjalan cukup jauh, ia pun duduk di bawah sebuah pohon di pantai itu sambil menikmati siliran angin laut dan menyaksikan gulungan ombak sedang berkejar-kejaran. Di tengah menikmati pemandangan yang indah itu, tiba-tiba dari kejauhan tampak seseorang menuju ke arahnya. Mulanya ia mengira bahwa sosok itu hanyalah sebuah bayangan. Namun, setelah orang itu mulai mendekat hatinya pun mulai lega. “Mmm, berarti memang ada kehidupan di tempat ini,” gumam Pengembara Muda itu. “Apakah dia itu sang Guru yang sedang saya cari?” tanyanya dalam hati. Ketika orang itu betul-betul berada di dekatnya, tiba-tiba keraguan bercampur rasa kagum menyelimuti hatinya. Ternyata orang yang menghampirinya itu adalah seorang gadis cantik jelita nan elok rupawan. “Amboi, cantik sekali gadis ini! Jangan-jangan ia seorang bidadari yang turun dari kayangan, ” pikirnya dalam hati. Laksana tersihir, Pengembara Muda itu diam tidak bergerak, saat gadis itu menyapanya dengan lemah lembut. “Abang mau ke mana? Sepertinya Abang bukan orang daerah ini?” Pengembara itu masih tetap diam menatap gadis itu tanpa berkedip sedikit pun. Keraguan kembali menyelimuti hatinya. Ia berpikir, jangan-jangan gadis itu adalah hantu jambangan yang hendak mengganggunya. Mustahil seorang gadis cantik tinggal sendirian di tempat yang sunyi itu. ”Kenapa Abang menatapku seperti itu? Abang tidak usah takut. Saya juga manusia seperti Abang,” ujarnya meyakinkan Pengembara Muda itu. ”Benarkah? Tapi, kenapa kamu ada di tempat ini seorang diri?” Pengembara Muda itu balik bertanya berusaha menghilangkan keraguannya. ”Benar, Bang! Nama saya Suri. Saya tinggal di balik hutan sebelah sana. Kampung kami di sana,” jelas gadis yang menyebut namanya Suri itu. Mendengar penjelasan Suri, keraguan Pengembara Muda itu pun mulai hilang. Namun, matanya tidak berkedip terus menatap Suri. ”Sudahlah, Bang! Janganlah menatapku seperti itu, saya jadi takut !” seru Gadis itu. ”Maaf, Abang hanya kagum melihat kecantikan, Dik Suri. Secantik-cantik gadis di negeri Abang, tidak seorang gadis pun yang dapat menyamai kecantikan, Dik Suri!” puji Pengembara Muda itu. ”Ah, Abang! Suri jadi malu,” kata Suri sambil tersenyum malu. ”Benar, Dik! Abang benar- benar kagum dengan keelokan wajahmu dan kelembutan tutur sapamu,” puji Pengembara itu mencoba untuk mencuri hati sang Gadis. ”O iya, nama saya Bujang Kelana,” sambung Pengembara Muda itu sambil memperkenalkan namanya. ”Kalau boleh tahu, Abang dari mana dan apa maksud kedatangan Abang ke tempat ini?” tanya Suri ingin tahu. ”Abang ini seorang pengembara hendak berguru di tempat ini. Kabar yang tersiar di negeri Abang, di tempat ini ada seorang guru yang alim sedang mencari murid untuk mewariskan ilmunya. Apakah Adik mengetahui guru itu?” Bujang Kelana balik bertanya. ”Iya, memang di tempat ini ada seorang guru terkenal yang bernama Tuk Solop. Namun, sejak murid- muridnya pindah berguru kepada Pendekar Katung, ia pun pergi entah ke mana,” jelas Suri. ”Pendekar Katung? Rasanya Abang pernah mendengar nama itu. Apakah adik juga mengenalnya ?” tanya Bujang Kelana penasaran. Mendengar pertanyaan itu, gadis cantik langsung pergi tanpa memberikan jawaban sedikit pun. Sepertinya ia sedang menyembunyikan sesuatu. ”Suri....! Kenapa kamu pergi?” teriak Bujang Kelana. ”Kembalilah, Abang belum selesai bicara!” teriaknya lagi. ”Kalau Abang mau bicara denganku, tunggu aku besok pagi di tempat ini,” jawab Suri sambil berlari pergi meninggalkan tempat itu. Bujang Kelana sangat heran dan terdiam. Kenapa saat menyebut nama Pendekar Katung, tiba-tiba ia pergi begitu saja. ”Ada apa gerangan dengan Suri? Apa aku telah menyinggung perasaannya ?” pikirnya dalam hati sambil melayangkan pandangannya ke arah Suri yang berlari menuju ke hutan. Setelah Suri menghilang di balik pepohonan, Bujang Kelana pun berniat pergi. Namun, ketika hendak beranjak, tiba-tiba seorang laki-laki buta sedang memegang tongkat keluar dari balik semak-semak sambil berjalan tertatih-tatih menghampirinya. Bujang Kelana pun mulai takut. ”Hai, Anak Muda! Kamu tidak usah takut. Aku telah mendengar semua pembicaraan kalian. Perlu kamu ketahui, gadis cantik itu adalah adik Pendekar Katung, ” ujar Datuk Buta itu. ”Tapi, kenapa dia pergi saat saya menyebut nama Abangnya itu?” tanya Bujang Kelana penasaran. ”Pendekar Katung adalah pemuda yang gagah berani dan sakti. Tapi sayang, ia tidak menggunakan ilmu kesaktiannya untuk kebajikan. Ia seorang pendekar aliran ilmu hitam. Kesaktiannya ia gunakan untuk menyiksa orang lain. Selain itu, ia juga sangat gemar menyabung ayam. Apa pun ia jadikan sebagai taruhan. Jangankan harta, nyawanya sekali pun ia pertaruhkan, ” jelas Datuk Buta itu. ”O, iya, Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa datang ke tempat ini?” Datuk Buta itu balik bertanya kepada Bujang Kelana. ”Kedatangan saya ke tempat ini hendak berguru kepada Tuk Solop,” jawab Bujang Kelana. ”Ooo... begitu!” sahut Datuk Buta sambil mengangguk- anggukkan kepala. ”Apakah Datuk mengetahui keberadaannya ?” tanya Bujang Kelana. ”Tuk Solop sudah lama meninggalkan tempat ini. Saya juga tidak tahu ke mana perginya. Ia pergi karena tidak ada lagi yang mau berguru kepadanya. Orang- orang benci kepadanya, karena dipengaruhi oleh Pendekar Katung.  Sebenarnya, ia sudah lama mencari seorang murid yang setia untuk mewariskan ilmunya, namun tidak seorang pun yang bersedia. Akhirnya, ia pun pergi entah ke mana,” jelas Datuk Buat itu.
Usai memberikan penjelasan kepada Bujang Kelana, Datuk Buta itu bergegas mohon diri, karena dari kejauhan ia merasakan seseorang sedang menuju ke arah mereka melalui indra keenamnya. Bujang Kelana pun semakin heran. ”Kenapa orang-orang yang saya temui di tempat ini semuanya tergesa-gesa pergi? Aneh, sungguh aneh!” gumam Bujang Kelana penuh rasa heran. Benar firasat Datuk Buta itu, beberapa saat kemudian, Suri tampak berlari menuju arah Bujang Kelana. ”Bang! Tolong Suri, Bang!” seru Suri tergesa-gesa dengan nafas yang masih tersengau-sengau. ”Apa yang terjadi denganmu, Suri? Bukankah Suri besok pagi baru kembali ke mari?” tanya Bujang Kelana penasaran. ”Pendekar Katung hendak menikahiku, ” jawab Suri sambil menoleh ke belakang, karena takut Pendekar Katung menyusulnya. ”Kenapa bisa? Bukankah dia itu Abangmu?” tanya lagi Bujang Kelana. ”Sudahlah, Bang! Jangan banyak tanya dulu! Ayo kita pergi dari sini!” ajak Suri sambil menarik tangan Bujang Kelana. Bujang Kelana tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali menuruti kemauan Suri.
Setelah merasa aman dari kejaran Pendekar Katung, Suri pun menceritakan perihal dirinya bahwa sebenarnya ia bukanlah adik kandung Pendekar Katung. Ibunya telah meninggal semasa Suri masih kecil. Sejak itu Suri hidup bersama ayahnya. Namun, ayahnya dipengaruhi oleh Pendekar Katung untuk menggelar sabung ayam. Ayahnya selalu kalah taruhan dalam gelar sabung ayam. Akhirnya, ayahnya bangkrut. Rumah sebagai harta mereka satu-satunya juga melayang, karena kalah taruhan. Oleh karena tidak lagi memiliki harta yang bisa dipertaruhkan, akhirnya ayahnya nekad mempertaruhkan nyawanya. Namun, malang nasib ayahnya, ayam jagonya kalah dan mati di tengah gelanggang. Ayahnya pun disiksa dan dibunuh, lalu dibuang ke tengah hutan. Sejak itu, Suri diasuh oleh Pendekar Katung hingga dewasa seperti sekarang ini. ”Abang ikut prihatin atas musibah yang menimpa ayahmu, Suri!” kata Bujang Kelana dengan perasaan haru setelah mendengar cerita Suri. Dalam suasana haru itu, tiba- tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran Datuk Buta di hadapan mereka. ”Eh, Datuk! Kenapa Datuk masih di sini? Bukankah tadi Datuk sudah pergi?” tanya Bujang Kelana terkejut. ”Aku tidak pergi. Aku bersembunyi di balik semak- semak itu, ” jawab Datuk Buta itu. ”Kalau benar yang diceritakan Suri itu, berarti aku adalah ayahnya, ” lanjutnya. ”Apa maksud, Datuk?” tanya Suri terkejut seolah-olah tidak percaya. ”Benar, Suri! Aku adalah ayahmu. Dulu namamu adalah Intan. Namun rupanya Pendekar Katung yang bejat itu telah mengganti namamu. Tapi, tak apalah, Nak! Karena semua orang lebih mengenalmu Suri daripada Intan. Mulai sekarang namamu Intan Suri,” jelas Datuk Buta itu. ”Tapi, kenapa Datuk masih hidup? Bukankah Datuk telah dibunuh Pendekar Katung ?” tanya Suri penasaran. ”Panjang ceritanya, Nak! Nanti Ayah ceritakan semua setelah Pendekar Katung yang biadab itu mati,” jawab Datuk Buta. Suri pun merasa yakin, kalau Datuk Buta itu adalah ayahnya. Ia pun segera memeluknya. Sang Ayah pun membalas pelukan putrinya yang sudah lama ia rindukan. ”Maafkan Ayah, Nak! Ayah sangat menyesal, karena membuat hidupmu sengsara,” kata Datuk Buta itu sambil meneteskan air mata. ”Tidak apa-apa, Ayah! Yang penting sekarang kita sudah berkumpul kembali,” jawab Suri yang kini memanggil Ayah kepada Datuk Buta itu. ”Baiklah, Nak! Sekarang mari kita mengatur siasat bagaimana cara menyingkirkan Pendekar Katung dari muka bumi ini!” seru Ayah Suri. ”Tapi, Ayah! Pendekar Katung itu sangat sakti. Ia kebal terhadap segala senjata tajam,” kata Suri dengan perasaan khawatir. ”Tidak perlu khawatir, Nak! Ayah tahu kelemahannya, ” jawab Ayahnya dengan penuh keyakinan.
Suri dan Ayahnya serta Bujang Kelana pun bermusyawarah untuk mengatur siasat bagaimana membinasakan Pendekar Katung. Pertama-tama mereka bermufakat untuk mengganti ayam jago Pendekar Katung dengan ayam milik Ayah Suri yang mirip sekali dengan ayam jago Pendekar Katung. Setelah itu, mereka akan menantang Pendekar Katung untuk menggelar sabung ayam yang diwakili oleh Bujang Kelana. Kini penantang Pendekar Katung bukan lagi penduduk Negeri Serimba, melainkan seorang pemuda dari sebuah negeri nun jauh di sana. Pelaksanaan pagelaran akbar itu pun diumumkan di berbagai tempat. Seluruh penduduk Serimba maupun negeri-negeri di sekitarnya sudah mengetahui pagelaran akbar itu.
Pagelaran akbar yang ditunggu-tunggu oleh khalayak ramai pun tiba. Seluruh penduduk Negeri Serimba dan negeri-negeri sekitarnya telah berkumpul ingin menyaksikan pertarungan yang mendebarkan itu. Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai. Tampak Tim Yuri duduk di pinggir lapangan menyaksikan dengan seksama untuk memberikan penilaian. Pada awalnya, pertandingan itu tampak seimbang. Ayam jago Pendekar Katung yang sebetulnya hanyalah ayam jago biasa mampu memberikan perlawanan. Namun, karena ayam jago Bujang Kelana adalah ayam jago Pendekar Katung yang terkenal ganas dan gesit itu, maka hanya dalam hitungan menit saja, ayam jago Pendekar Katung mulai terdesak dan akhirnya mati tidak berdaya. Pendekar Katung yang menyaksikan pertarungan itu sangat terkejut melihat kejadian itu. Ia sangat malu, karena yang menyaksikan pertarungan tersebut tidak hanya penduduk Negeri Serimba, tetapi juga dari negeri-negeri lain. ”Ah, mustahil ayam jagoku mati!” seru Pendekar Katung mulai kesal. Oleh karena tidak terima ayam jagonya kalah, Pendekar Katung mulai naik pitam. Ia pun segera memerintahkan beberapa pengawal setianya untuk mengusir Bujang Kelana. Mengetahui dirinya terancam, Bujang Kelana pun segera melarikan diri ke Pantai Solop untuk menemui Datuk Buta dan Suri yang sengaja tidak hadir menyaksikan pertarungan itu. ”Pengawal! Ayo kita kejar pemuda brengsek itu!” perintah Pendekar Katung. Pendekar Katung beserta puluhan pengawalnya mengejar Bujang Kelana sampai ke Pantai Solop.
Di pantai berpasir putih itu Bujang Kelana terdesak. Belum sempat menemui Datuk Buta, tiba-tiba ia sudah diserang oleh beberapa pengawal Pendekar Katung. Bujang Kelana pun tidak mau mengalah begitu saja. Pantang menyerah sebelum ajal tiba, tekadnya. Bujang Kelana melakukan perlawanan dengan segala kemampuan yang dimiliki. Awalnya, ia mampu menghindari serangan yang datang bertubi-tubi kepadanya. Namun, karena dikeroyok oleh beberapa orang, ia pun mulai terdesak. Tidak dapat dielakkan lagi, seorang pengawal Pendekar Katung menusukkan tombaknya. Untung tombak itu hanya mengoyak paha Bujang Kelana. Pada saat yang bersamaan, dengan secepat kilat, Datuk Buta melompat dari balik semak-semak langsung mencekik leher Pendekar Katung dari belakang. Pendekar Katung pun meronta-ronta dan berusaha untuk melepaskan diri. Namun, cekikan Datuk Buta sangat kuat, sehingga ia tidak dapat bergerak. ”Bujang Kelana! Cepat tusukkan senjatamu ke perut Pendekar Katung !” teriak Datuk Buta. Bujang Kelana tidak dapat langsung menusukkan senjatanya kepada Pendekar Katung, karena ia masih kewalahan menahan serangan dari para pengawal Pendekar Katung yang datang bertubi- tubi. ”Cepat, Kelana! Tubuh Pendekar Katung akan tembus ditusuk senjata jika ia dipeluk oleh orang buta,” teriak lagi Datuk Buta. Mengetahui kelemahan Pendekar Katung itu, Bujang Kelana segera mengadakan perlawanan. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, ia berbalik menyerang. Setelah para pengawal Pendekar Katung terdesak, dan bahkan sebagian lari tunggang- langgang menuju ke semak- belukar, dengan secepat kilat Bujang Kelana segera menusukkan senjatanya bertubi-tubi ke bagian perut dan dada Pendekar Katung. Seketika itu pula, Pendekar Katung langsung lemas tidak berdaya. Datuk Buta pun segera menghempaskan tubuh Pendekar Katung ke atas pasir. ”Hei, Katung! Kamu tahu siapa aku. Aku adalah Ayah Suri yang pernah kamu bunuh dan buang di tengah hutan. Tapi karena umurku masih dipanjangkan oleh Yang Kuasa, aku masih bisa hidup hingga sekarang,” ujar Datuk Buta. ”Gurumulah yang telah menyelamatkanku. Beliau juga yang telah memberitahukan kepadaku tentang kelemahanmu,” tambah Datuk Buta.
Pendekar Katung yang sudah sekarat itu tidak dapat memberikan jawaban sedikit pun. Beberapa saat kemudian, Pendekar Katung pun mengembuskan nafas terakhirnya. Melihat tuannya mati, beberapa pengawalnya yang masih tersisa langsung melarikan diri. ”Terima kasih, Kelana, karena telah membantuku menyingkirkan Pendekar Katung. Mari kita temui Intan Suri!” ajak Datuk Buta. Namun, baru akan beranjak dari tempat mereka, tiba-tiba Intan Suri keluar dari balik semak-semak dengan berlumuran darah. ”Suri, apa yang terjadi denganmu?” tanya Bujang Kelana panik. ”Seorang pengawal Pendekar Katung mengetahui tempat persembunyianku di balik semak-semak itu. Ia hendak membunuhku, karena mengetahui aku yang telah menukar ayam jago tuannya, ” jelas Suri dengan nada lemas. ”Bang Bujang! Maafkan Suri, Bang! Suri mencintai Abang, tapi mungkin kita tidak ditakdirkan hidup bersama,” sambung Suri meneteskan air mata. ”Jangan berkata begitu, Dik! Kita pasti akan hidup bersama, karena Abang juga sangat mencintai Adik, ” ungkap Bujang Kelana dengan sedih. ”Bang, tolong jaga negeri dan penduduk Serimba serta Pantai Solop ini agar tetap aman dan damai,” pesan Suri terbatuk-batuk. Beberapa saat kemudian, denyut nadi Intan Suri berhenti berdetak. Rupanya pesan itu merupakan pesan terakhir Intan Suri sebelum mengembuskan nafas terakhirnya. Mengetahui kekasihnya telah meninggal dunia, Bujang Kelana berteriak dengan sekeras-kerasnya. ”Intan Suriiiiiii.....!!!” Usai berteriak, Bujang Kelana terdiam kaku dengan air mata berlinang memandang wajah kekasihnya yang cantik jelita itu. ”Sudahlah, Nak Kelana! Aku juga sangat sedih ditinggal oleh putri semata wayangku. Aku merasa sangat berdosa, karena tidak dapat menjaganya dengan baik,” ucap Datuk Buta dengan penuh penyesalan. ”Sebaiknya jenazah Intan Suri kita bawa ke pondokku yang berada di di tengah hutan ini!” ujar Datuk Buta. Usai menyiapkan segala sesuatunya, mereka pun segera menguburkan jenazah Intan Suri di dekat pondok Datuk Buta. ”Datuk! Kelana juga akan pergi dari negeri ini sebagaimana Intan Suri telah pergi untuk selama-lamanya, ” ujar Bujang Kelana kepada Datuk Buta. Setelah berkata begitu, Bujang Kelana mengambil sangkar ayam yang terletak di samping pondok Datuk Buta.
Kemudian ia bergegas menuju ke Pantai Solop. Sesampai di pantai, dengan sekuat tenaga ia melemparkan sangkar ayam itu ke tengah laut. ”Aku bersumpah, walaupun sangkar ayam itu akan menjadi pulau, aku tidak akan kembali ke negeri ini!” teriak Bujang Kelana bersumpah. Setelah itu, Bujang Kelana pun meninggalkan Pantai Solop yang indah itu. Ia pergi berkelana mengikuti ke mana kakinya melangkah tanpa arah dan tujuan. Ia tidak ingin tinggal di Pantai Solop, karena takut teringat dengan kekasihnya yang telah pergi untuk selama-lamanya. Konon, setelah bertahun- tahun Bujang Kelana meninggalkan Pantai Solop, sangkar ayam yang dilemparkan ke tengah laut itu benar-benar menjelma menjadi sebuah pulau. Pulau itu berada tepat berhadapan dengan Pantai Solop. Oleh masyarakat setempat, pulau itu mereka beri nama Pulau Sangkar Ayam.

Legenda Batang Tuaka


Kabupaten Indragiri Hilir masuk dalam wilayah Provinsi Riau, Indonesia, dan dijuluki sebagai “Negeri Seribu Parit”. Di daerah ini rawa-rawa terhampar luas dan sungai-sungai terbentang hampir keseluruh wilayah kecamatan. Sungai terbesar di daerah ini adalah Sungai Indragiri yang berhulu di Pegunungan Bukit Barisan (Sumatera Barat) dan bermuara di Selat Berhala, sedangkan sungai-sungai lainnya hanya merupakan anak sungai dari Sungai Indragiri.  Salah satu anak sungai yang sangat terkenal di Indragiri Hilir adalah Sungai Batang Tuaka yang berada di Kecamatan Batang Tuaka.
Konon, nama “Sungai Batang Tuaka” diambil dari sebuah cerita legenda yang populer di kalangan masyarakat Indragiri Hilir. Legenda tersebut mengisahkan tentang seorang anak yang durhaka kepada emaknya, sehingga Tuhan menghukum anak itu karena kedurhakaannya. Siapakah anak durhaka itu? Bagaimana anak itu durhaka kepada emaknya? Hukuman apa yang Tuhan berikan padanya? Untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, ikuti kisahnya dalam Legenda Batang Tuaka. Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau, Indonesia, hiduplah seorang janda tua bersama anak laki-lakinya bernama Tuaka. Mereka hidup berdua disebuah gubuk yang terletak dimuara sebuah sungai (tepatnya di muara sungai Indragiri Hilir). Mereka tak punya sanak-saudara dan harta sedikitpun. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk hidup sehari-hari Tuaka membantu emaknya mengumpulkan kayu api dari hutan-hutan disekitar tempat tinggal mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia, dengan demikian emaknya harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya, Tuaka.
Suatu hari, Tuaka bersama emaknya pergi ke hutan disekitar sungai. Mereka mencari kayu api untuk dijual dan untuk memasak sehari-hari. Setelah memperoleh kayu api cukup banyak, mereka berdua akhirnya pulang. “Mak, kalau Emak lelah biarlah Tuaka saja yang menggendong kayu apinya”, kata Tuaka saat melihat emaknya kelelahan. “Tak apa, Tuaka. Emak masih kuat. Lagi pula, kayu bakar yang ada padamu juga banyak,” jawab Emak Tuaka sambil melanjutkan langkahnya.
Ditengah perjalanan pulang, Tuaka dan emaknya dikejutkan oleh suara desisan yang cukup keras. “Mak! Suara apa itu?”, tanya Tuaka pada emaknya. “Sepertinya itu suara ular berdesis”, jawab emaknya. Ternyata benar, tak jauh dari mereka, dari arah tebing sungai tampak dua ekor ular besar sedang bertarung. Tampaknya mereka sedang memperebutkan sebuah benda. “Tuaka sembunyilah. Ada ular besar yang sedang berkelahi”, perintah Emak Tuaka. Tuaka dan emaknya segera berlindung di balik sebuah pohon yang cukup besar. Dari balik pohon itu, Tuaka dan emaknya terus menyaksikan dua ekor ular itu saling bergumul dan belit-membelit. “Apa yang mereka perebutkan, Mak?”, tanya Tuaka. “Mak juga tak tahu! Diamlah Tuaka, nanti mereka mengetahui keberadaan kita”, jawab Emak Tuaka dengan suara berbisik. Tak lama kemudian, perkelahian kedua ekor ular tersebut akhirnya usai. Tuaka dan emaknya keluar dari balik pohon, lalu mendekat ke tempat kejadian itu. Mereka mendapati salah satu ular sudah mati, sedangkan ular lainnya terluka. Ular yang terluka itu menggigit sebuah benda berkilau, yang ternyata adalah sebutir permata (kemala) yang sangat indah. Ular itu tampak kesakitan oleh luka-lukanya. “Mak, kasihan ular yang terluka itu. Mari kita tolong”, kata Tuaka kepada emaknya dengan nada mengajak. “Ya, mari kita bawa pulang, supaya kita bias obati di rumah”, jawab Emak Tuaka. Tuaka memasukkan ular itu kedalam keranjang yang dibawa emaknya, lalu memanggulnya pulang. Sampai di rumah, Emak Tuaka segera mencari daun-daunan yang berkhasiat, menumbuknya, lalu membubuhkannya pada luka-luka di tubuh ular itu, sedangkan Tuak sibuk minum air sejuk.
Beberapa hari kemudian, ular yang sudah mulau sembuh itu tiba-tiba hilang dari keranjang. Permata yang selalu dia lindungi di dalam lingkaran badannya ditinggalkan di dalam keranjang. Tuaka dan emaknya terheran-heran, lalu mereka mengamati permata itu dengan kagum. “Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak?” tanya Tuaka kepada emaknya. “Barangkali dia ingin berterima kasih kepada kita, karena kita sudah menolongnya. Sebaiknya kita jual saja permata ini kepada saudagar. Uangnya kita gunakan untuk berdagang supaya kita tidak hidup miskin lagi”, jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur. Tuaka pun setuju dengan tawaran emakanya.Keesokan harinya, Tuaka pergi ke Bandar yang ramai dengan  para saudagar. Sesampai di Bandar, Tuaka berkeliling kesana-kemari mencari saudagar yang berani membeli permatanya dengan harga yang tinggi. Hampir semua saudagar di Bandar itu ia tawarkan, namun tak ada yang berani membelinya. Tuaka pun mulaii putus asa. Tuaka berniat membawa pulang permata itu kepada emaknya.
Namun, ketika sampai di ujung Bandar, tiba-tiba ia melihat seorang saudagar yang sepertinya belum ia tawarkan. Tuaka menghampiri saudagar itu, kemudian menawarkan permatanya dengan harga yang tinggi. Tampaknya, saudagar itu sangat tertarik setelah mengamati permata berkilau itu. “Aduhai elok sangat batu permata ini! Aku sangat ingin memilikinya. Harga yang kau tawarkan itu memang tinggi, tapi aku tetap akan membelinya”, kata sang Saudagar. Kalau begitu, apa lagi yang Tuan tunggu? Tuan hanya tinggal membayarnya”, desak Tuaka dengan hati berdebar karena bahagia. “Uang yang aku bawa tak cukup, Nak! Jika kamu mau, kamu boleh ikut dengan ku ke Temasik untuk mengambil kekurangannya”, kata sang saudagar. Tuaka tampak termenung sejenak memikirkan tawaran sang Saudagar. “Ehm, baiklah Tuan. Saya nak ikut Tuan ke Temasik”, jawab Tuaka. Setelah itu, Tuaka pulang kerumahnya untuk menceritakan masalah ini pada emaknya. Akhirnya, Emak Tuaka mengizinkannya berangkat ke Temasik (Singapura). Tuaka dan saudagar kaya itu berlayar menuju temasik. Sepanjang perjalanan, Tuaka tak henti-hentinya membayangkan betapa banyak uang yang akan diperolehnya nanti.Setibanya di Temasik, sang saudagar membayar uang pembelian permata kepada Tuaka. Karena uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada ibu dan kampong halamannya. Dia menetap di Temasik. Beberapa tahun kemudian dia telah menjadi saudagar kaya. Dia menikah dengan seorang gadis elok rupawan. Rumah Tuaka sangat lah megah, kapalnya pun banyak. Hidupnya bergelimang dengan kemewahan. Dia tidak lagi peduli emaknya yang miskin dan hidup sendirian, entah makan entah tidak. Suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah Tuaka berlabuh di kampung Tuaka. Sebenarnya Tuaka masih ingat dengan kampung halaman tersebut. Akan tetapi, rupanya dia enggan menceritakan kepada istrinya bahwa di kampung yang mereka singgahi tersebut emaknya masih hidup di sebuah gubuk tua. Dia tak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita yang sudah tua-renta miskin.
Sementara itu , berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang bertahun-tahun tak terdengar kabar beritanya tersebut. Karena rindu tak terbendung ingin bertemu anaknya, Emak Tuaka pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka. “Tuaka anakku. Emak sangat merindukanmu, Nak!” teriak Emak Tuaka saat melihat Tuaka dan istrinya di atas kapal megah itu, “Siapa gerangan wanita tua itu, Kakanda? Mengapa dia menyebut Kakanda sebagai anaknya?” tanya istri Tuaka dengan wajah tidak senang.Tuaka terkejut buka kepalang melihat emaknya di atas sampan berteriak memanggilnya. Dia tahu wanita dengan pakaian compang-camping itu memang emaknya, tetapi dia tak sudi mengakuinya. Dia sangat malu pada istrinya. “Hei, jauhkan wanita miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku”, teriak Tuaka dari atas kapal. “Ya, usir dia jauh-jauh dari sini”, tambah istri Tuaka sambil bertolak pinggang. Mendengar perintah dari tuannya, anak buah Tuaka segera mengusir wanita miskin nan malang itu menjauh dari kapal. Emak Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis dia bersampan menjauhi kapal Tuaka. “Oh, Tuhan. Ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya”, ratap emak Tuaka.
Rupanya Tuhan mendengar doa Emak Tuaka. Sesaat setelah doa Emak Tuaka terucap, tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia berubah menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat anaknya berubah menjadi burung. Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai seorang ibu ia sangat mencintai anaknya. Burung elang dan burung punai tersebut terbang berputar-putar di  atas muara sungai sambil menangis. Air mata kedua burung itu menetes, membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka. Kemudian oleh masyarakat setempat mengganti kata “sungai” ke dalam bahasa Melayu menjadi “Batang”, sehingga nama “Sungai Tuaka” berubah menjadi “Batang Tuaka”.
Sejak itu pula, daerah sekitar muara sungai tersebut diberi nama Batang Tuaka yang kini dikenal dengan Kecamatan Batang Tuaka yang masuk wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Indonesia. Masyarakat Melayu Indragiri, baik hilir maupun hulu sungai, meyakini legenda ini benar-benar pernah terjadi pada zaman dahulu kala sekitar muara Sungai Indragiri. Jika ada suara jerit elang berkulik pada siang hari sekitar muara Sungai Tuaka, masyarakat setempat meyakini bahwa suara burung tersebut sebagai penjelamaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.