Alkisah, di Pantai
Solop, Indragiri Hilir, Riau, Indonesia, ada seorang guru mengaji dan silat
yang bernama Tuk Solop. Umurnya sudah mulai udzur. Janggutnya yang lebat sudah
berwarna putih. Jika berjalan, ia harus ditopang dengan tongkat sakti pemberian
gurunya. Tuk Solop seorang guru yang sakti dan terkenal hingga ke pelosok
negeri. Walaupun sakti, ia tetap rendah hati. Ia sangat sopan dan santun jika
bertutur sapa. Kepada yang muda ia sayangi, dan kepada yang tua ia hormati. Ia
memiliki banyak murid yang datang dari berbagai pelosok negeri. Namun herannya,
sejak tujuh purnama yang lalu tidak ada lagi yang hendak berguru kepadanya.
Murid-muridnya yang sudah tamat kini sudah pergi, tidak tersisa seorang murid pun.
Pantai Solop pun
menjadi sepi. Sementara itu, tidak jauh dari Pantai Solop, ada sebuah dusun
yang bernama Serimba. Di dusun itu ada seorang pemuda bernama Pendekar Katung.
Ia sangat sakti dan memiliki ilmu silat tingkat tinggi. Kerisnya dapat menyala
bagaikan halilintar. Tubuhnya kebal terhadap segala jenis senjata tajam. Namun,
sifatnya bertolak belakang dengan sifat Tuk Solop. Ia sangat angkuh dan
sombong. Ia memiliki berpuluh-puluh murid dan pengawal yang setia. Pendekar
Katung adalah seorang pendekar yang kaya- raya. Ia menjadi kaya karena selalu
menang taruhan menyabung ayam. Ia memiliki ayam jago yang belum terkalahkan.
Sudah ratusan ayam yang mati oleh ayam jagonya itu, sehingga Pendekar Katung
semakin terkenal sampai ke pelosok negeri. Pendekar Katung juga memiliki
seorang adik perempuan yang cantik jelita bernama Suri. Sebenarnya, Suri
bukanlah adik kandungnya, tapi ia adalah anak dari seorang penyabung yang sudah
meninggal, karena mempertaruhkan nyawanya dengan Pendekar Katung. Ayah Suri dibunuh
oleh pengawal Pendekar Katung di tengah hutan Serimba. Suri yang masih bayi
saat itu kemudian diasuh oleh Pendekar Katung hingga menjadi seorang gadis
cantik jelita. Pada suatu ketika, seorang pengembara muda datang ke Pantai
Solop. Kedatangannya ke pantai itu hendak menuntut ilmu. Ia pernah mendengar
bahwa di pantai itu ada seorang guru sejati yang tidak memiliki murid dan
tengah mencari murid yang setia untuk mewariskan ilmunya, karena sebentar lagi
akan menghadap kepada Yang Kuasa.
Sesampainya di Pantai
Solop, pengembara muda itu kebingungan, karena tidak seorang pun yang
ditemuinya. Ia hanya menyaksikan pantai pasir putih yang begitu indah dan
deburan ombak yang memecah suasana sunyi. ”Kenapa tidak ada siapa-siapa di
tempat ini? Di mana sang Guru itu?” tanya Pengembara Muda itu dalam hati. Setelah melayangkan pandangan ke
sekelilingnya, orang yang dicarinya tidak juga ditemukan. Akhirnya, untuk
menghilangkan rasa letih setelah berjalan cukup jauh, ia pun duduk di bawah
sebuah pohon di pantai itu sambil menikmati siliran angin laut dan menyaksikan
gulungan ombak sedang berkejar-kejaran. Di tengah menikmati pemandangan yang
indah itu, tiba-tiba dari kejauhan tampak seseorang menuju ke arahnya. Mulanya
ia mengira bahwa sosok itu hanyalah sebuah bayangan. Namun, setelah orang itu
mulai mendekat hatinya pun mulai lega. “Mmm, berarti memang ada kehidupan di
tempat ini,” gumam Pengembara Muda itu. “Apakah dia itu sang Guru yang sedang
saya cari?” tanyanya dalam hati. Ketika orang itu betul-betul berada di dekatnya,
tiba-tiba keraguan bercampur rasa kagum menyelimuti hatinya. Ternyata orang
yang menghampirinya itu adalah seorang gadis cantik jelita nan elok rupawan.
“Amboi, cantik sekali gadis ini! Jangan-jangan ia seorang bidadari yang turun
dari kayangan, ” pikirnya dalam hati. Laksana tersihir, Pengembara Muda itu
diam tidak bergerak, saat gadis itu menyapanya dengan lemah lembut. “Abang mau
ke mana? Sepertinya Abang bukan orang daerah ini?” Pengembara itu masih tetap
diam menatap gadis itu tanpa berkedip sedikit pun. Keraguan kembali menyelimuti
hatinya. Ia berpikir, jangan-jangan gadis itu adalah hantu jambangan yang
hendak mengganggunya. Mustahil seorang gadis cantik tinggal sendirian di tempat
yang sunyi itu. ”Kenapa Abang menatapku seperti itu? Abang tidak usah takut.
Saya juga manusia seperti Abang,” ujarnya meyakinkan Pengembara Muda itu.
”Benarkah? Tapi, kenapa kamu ada di tempat ini seorang diri?” Pengembara Muda
itu balik bertanya berusaha menghilangkan keraguannya. ”Benar, Bang! Nama saya
Suri. Saya tinggal di balik hutan sebelah sana. Kampung kami di sana,” jelas
gadis yang menyebut namanya Suri itu. Mendengar penjelasan Suri, keraguan
Pengembara Muda itu pun mulai hilang. Namun, matanya tidak berkedip terus
menatap Suri. ”Sudahlah, Bang! Janganlah menatapku seperti itu, saya jadi takut
!” seru Gadis itu. ”Maaf, Abang hanya kagum melihat kecantikan, Dik Suri.
Secantik-cantik gadis di negeri Abang, tidak seorang gadis pun yang dapat
menyamai kecantikan, Dik Suri!” puji Pengembara Muda itu. ”Ah, Abang! Suri jadi
malu,” kata Suri sambil tersenyum malu. ”Benar, Dik! Abang benar- benar kagum
dengan keelokan wajahmu dan kelembutan tutur sapamu,” puji Pengembara itu
mencoba untuk mencuri hati sang Gadis. ”O iya, nama saya Bujang Kelana,”
sambung Pengembara Muda itu sambil memperkenalkan namanya. ”Kalau boleh tahu,
Abang dari mana dan apa maksud kedatangan Abang ke tempat ini?” tanya Suri
ingin tahu. ”Abang ini seorang pengembara hendak berguru di tempat ini. Kabar
yang tersiar di negeri Abang, di tempat ini ada seorang guru yang alim sedang
mencari murid untuk mewariskan ilmunya. Apakah Adik mengetahui guru itu?”
Bujang Kelana balik bertanya. ”Iya, memang di tempat ini ada seorang guru
terkenal yang bernama Tuk Solop. Namun, sejak murid- muridnya pindah berguru
kepada Pendekar Katung, ia pun pergi entah ke mana,” jelas Suri. ”Pendekar
Katung? Rasanya Abang pernah mendengar nama itu. Apakah adik juga mengenalnya
?” tanya Bujang Kelana penasaran. Mendengar pertanyaan itu, gadis cantik
langsung pergi tanpa memberikan jawaban sedikit pun. Sepertinya ia sedang
menyembunyikan sesuatu. ”Suri....! Kenapa kamu pergi?” teriak Bujang Kelana.
”Kembalilah, Abang belum selesai bicara!” teriaknya lagi. ”Kalau Abang mau
bicara denganku, tunggu aku besok pagi di tempat ini,” jawab Suri sambil
berlari pergi meninggalkan tempat itu. Bujang Kelana sangat heran dan terdiam.
Kenapa saat menyebut nama Pendekar Katung, tiba-tiba ia pergi begitu saja. ”Ada
apa gerangan dengan Suri? Apa aku telah menyinggung perasaannya ?” pikirnya
dalam hati sambil melayangkan pandangannya ke arah Suri yang berlari menuju ke
hutan. Setelah Suri menghilang di balik pepohonan, Bujang Kelana pun berniat
pergi. Namun, ketika hendak beranjak, tiba-tiba seorang laki-laki buta sedang
memegang tongkat keluar dari balik semak-semak sambil berjalan tertatih-tatih
menghampirinya. Bujang Kelana pun mulai takut. ”Hai, Anak Muda! Kamu tidak usah
takut. Aku telah mendengar semua pembicaraan kalian. Perlu kamu ketahui, gadis
cantik itu adalah adik Pendekar Katung, ” ujar Datuk Buta itu. ”Tapi, kenapa
dia pergi saat saya menyebut nama Abangnya itu?” tanya Bujang Kelana penasaran.
”Pendekar Katung adalah pemuda yang gagah berani dan sakti. Tapi sayang, ia
tidak menggunakan ilmu kesaktiannya untuk kebajikan. Ia seorang pendekar aliran
ilmu hitam. Kesaktiannya ia gunakan untuk menyiksa orang lain. Selain itu, ia
juga sangat gemar menyabung ayam. Apa pun ia jadikan sebagai taruhan. Jangankan
harta, nyawanya sekali pun ia pertaruhkan, ” jelas Datuk Buta itu. ”O, iya,
Anak Muda! Kamu siapa dan kenapa datang ke tempat ini?” Datuk Buta itu balik
bertanya kepada Bujang Kelana. ”Kedatangan saya ke tempat ini hendak berguru
kepada Tuk Solop,” jawab Bujang Kelana. ”Ooo... begitu!” sahut Datuk Buta
sambil mengangguk- anggukkan kepala. ”Apakah Datuk mengetahui keberadaannya ?”
tanya Bujang Kelana. ”Tuk Solop sudah lama meninggalkan tempat ini. Saya juga
tidak tahu ke mana perginya. Ia pergi karena tidak ada lagi yang mau berguru
kepadanya. Orang- orang benci kepadanya, karena dipengaruhi oleh Pendekar
Katung. Sebenarnya, ia sudah lama
mencari seorang murid yang setia untuk mewariskan ilmunya, namun tidak seorang
pun yang bersedia. Akhirnya, ia pun pergi entah ke mana,” jelas Datuk Buat itu.
Usai memberikan
penjelasan kepada Bujang Kelana, Datuk Buta itu bergegas mohon diri, karena
dari kejauhan ia merasakan seseorang sedang menuju ke arah mereka melalui indra
keenamnya. Bujang Kelana pun semakin heran. ”Kenapa orang-orang yang saya temui
di tempat ini semuanya tergesa-gesa pergi? Aneh, sungguh aneh!” gumam Bujang
Kelana penuh rasa heran. Benar firasat Datuk Buta itu, beberapa saat kemudian,
Suri tampak berlari menuju arah Bujang Kelana. ”Bang! Tolong Suri, Bang!” seru
Suri tergesa-gesa dengan nafas yang masih tersengau-sengau. ”Apa yang terjadi
denganmu, Suri? Bukankah Suri besok pagi baru kembali ke mari?” tanya Bujang
Kelana penasaran. ”Pendekar Katung hendak menikahiku, ” jawab Suri sambil
menoleh ke belakang, karena takut Pendekar Katung menyusulnya. ”Kenapa bisa?
Bukankah dia itu Abangmu?” tanya lagi Bujang Kelana. ”Sudahlah, Bang! Jangan
banyak tanya dulu! Ayo kita pergi dari sini!” ajak Suri sambil menarik tangan
Bujang Kelana. Bujang Kelana tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali menuruti
kemauan Suri.
Setelah merasa aman
dari kejaran Pendekar Katung, Suri pun menceritakan perihal dirinya bahwa
sebenarnya ia bukanlah adik kandung Pendekar Katung. Ibunya telah meninggal
semasa Suri masih kecil. Sejak itu Suri hidup bersama ayahnya. Namun, ayahnya
dipengaruhi oleh Pendekar Katung untuk menggelar sabung ayam. Ayahnya selalu
kalah taruhan dalam gelar sabung ayam. Akhirnya, ayahnya bangkrut. Rumah
sebagai harta mereka satu-satunya juga melayang, karena kalah taruhan. Oleh
karena tidak lagi memiliki harta yang bisa dipertaruhkan, akhirnya ayahnya
nekad mempertaruhkan nyawanya. Namun, malang nasib ayahnya, ayam jagonya kalah
dan mati di tengah gelanggang. Ayahnya pun disiksa dan dibunuh, lalu dibuang ke
tengah hutan. Sejak itu, Suri diasuh oleh Pendekar Katung hingga dewasa seperti
sekarang ini. ”Abang ikut prihatin atas musibah yang menimpa ayahmu, Suri!”
kata Bujang Kelana dengan perasaan haru setelah mendengar cerita Suri. Dalam
suasana haru itu, tiba- tiba mereka dikejutkan dengan kehadiran Datuk Buta di
hadapan mereka. ”Eh, Datuk! Kenapa Datuk masih di sini? Bukankah tadi Datuk
sudah pergi?” tanya Bujang Kelana terkejut. ”Aku tidak pergi. Aku bersembunyi
di balik semak- semak itu, ” jawab Datuk Buta itu. ”Kalau benar yang
diceritakan Suri itu, berarti aku adalah ayahnya, ” lanjutnya. ”Apa maksud,
Datuk?” tanya Suri terkejut seolah-olah tidak percaya. ”Benar, Suri! Aku adalah
ayahmu. Dulu namamu adalah Intan. Namun rupanya Pendekar Katung yang bejat itu
telah mengganti namamu. Tapi, tak apalah, Nak! Karena semua orang lebih
mengenalmu Suri daripada Intan. Mulai sekarang namamu Intan Suri,” jelas Datuk
Buta itu. ”Tapi, kenapa Datuk masih hidup? Bukankah Datuk telah dibunuh
Pendekar Katung ?” tanya Suri penasaran. ”Panjang ceritanya, Nak! Nanti Ayah
ceritakan semua setelah Pendekar Katung yang biadab itu mati,” jawab Datuk
Buta. Suri pun merasa yakin, kalau Datuk Buta itu adalah ayahnya. Ia pun segera
memeluknya. Sang Ayah pun membalas pelukan putrinya yang sudah lama ia
rindukan. ”Maafkan Ayah, Nak! Ayah sangat menyesal, karena membuat hidupmu sengsara,”
kata Datuk Buta itu sambil meneteskan air mata. ”Tidak apa-apa, Ayah! Yang
penting sekarang kita sudah berkumpul kembali,” jawab Suri yang kini memanggil
Ayah kepada Datuk Buta itu. ”Baiklah, Nak! Sekarang mari kita mengatur siasat
bagaimana cara menyingkirkan Pendekar Katung dari muka bumi ini!” seru Ayah
Suri. ”Tapi, Ayah! Pendekar Katung itu sangat sakti. Ia kebal terhadap segala
senjata tajam,” kata Suri dengan perasaan khawatir. ”Tidak perlu khawatir, Nak!
Ayah tahu kelemahannya, ” jawab Ayahnya dengan penuh keyakinan.
Suri dan Ayahnya
serta Bujang Kelana pun bermusyawarah untuk mengatur siasat bagaimana
membinasakan Pendekar Katung. Pertama-tama mereka bermufakat untuk mengganti
ayam jago Pendekar Katung dengan ayam milik Ayah Suri yang mirip sekali dengan
ayam jago Pendekar Katung. Setelah itu, mereka akan menantang Pendekar Katung
untuk menggelar sabung ayam yang diwakili oleh Bujang Kelana. Kini penantang
Pendekar Katung bukan lagi penduduk Negeri Serimba, melainkan seorang pemuda
dari sebuah negeri nun jauh di sana. Pelaksanaan pagelaran akbar itu pun
diumumkan di berbagai tempat. Seluruh penduduk Serimba maupun negeri-negeri di
sekitarnya sudah mengetahui pagelaran akbar itu.
Pagelaran akbar yang
ditunggu-tunggu oleh khalayak ramai pun tiba. Seluruh penduduk Negeri Serimba
dan negeri-negeri sekitarnya telah berkumpul ingin menyaksikan pertarungan yang
mendebarkan itu. Beberapa saat kemudian, pertarungan pun dimulai. Tampak Tim
Yuri duduk di pinggir lapangan menyaksikan dengan seksama untuk memberikan
penilaian. Pada awalnya, pertandingan itu tampak seimbang. Ayam jago Pendekar
Katung yang sebetulnya hanyalah ayam jago biasa mampu memberikan perlawanan.
Namun, karena ayam jago Bujang Kelana adalah ayam jago Pendekar Katung yang
terkenal ganas dan gesit itu, maka hanya dalam hitungan menit saja, ayam jago
Pendekar Katung mulai terdesak dan akhirnya mati tidak berdaya. Pendekar Katung
yang menyaksikan pertarungan itu sangat terkejut melihat kejadian itu. Ia
sangat malu, karena yang menyaksikan pertarungan tersebut tidak hanya penduduk
Negeri Serimba, tetapi juga dari negeri-negeri lain. ”Ah, mustahil ayam jagoku
mati!” seru Pendekar Katung mulai kesal. Oleh karena tidak terima ayam jagonya
kalah, Pendekar Katung mulai naik pitam. Ia pun segera memerintahkan beberapa
pengawal setianya untuk mengusir Bujang Kelana. Mengetahui dirinya terancam,
Bujang Kelana pun segera melarikan diri ke Pantai Solop untuk menemui Datuk
Buta dan Suri yang sengaja tidak hadir menyaksikan pertarungan itu. ”Pengawal!
Ayo kita kejar pemuda brengsek itu!” perintah Pendekar Katung. Pendekar Katung
beserta puluhan pengawalnya mengejar Bujang Kelana sampai ke Pantai Solop.
Di pantai berpasir
putih itu Bujang Kelana terdesak. Belum sempat menemui Datuk Buta, tiba-tiba ia
sudah diserang oleh beberapa pengawal Pendekar Katung. Bujang Kelana pun tidak
mau mengalah begitu saja. Pantang menyerah sebelum ajal tiba, tekadnya. Bujang
Kelana melakukan perlawanan dengan segala kemampuan yang dimiliki. Awalnya, ia
mampu menghindari serangan yang datang bertubi-tubi kepadanya. Namun, karena
dikeroyok oleh beberapa orang, ia pun mulai terdesak. Tidak dapat dielakkan
lagi, seorang pengawal Pendekar Katung menusukkan tombaknya. Untung tombak itu
hanya mengoyak paha Bujang Kelana. Pada saat yang bersamaan, dengan secepat
kilat, Datuk Buta melompat dari balik semak-semak langsung mencekik leher
Pendekar Katung dari belakang. Pendekar Katung pun meronta-ronta dan berusaha
untuk melepaskan diri. Namun, cekikan Datuk Buta sangat kuat, sehingga ia tidak
dapat bergerak. ”Bujang Kelana! Cepat tusukkan senjatamu ke perut Pendekar
Katung !” teriak Datuk Buta. Bujang Kelana tidak dapat langsung menusukkan
senjatanya kepada Pendekar Katung, karena ia masih kewalahan menahan serangan
dari para pengawal Pendekar Katung yang datang bertubi- tubi. ”Cepat, Kelana!
Tubuh Pendekar Katung akan tembus ditusuk senjata jika ia dipeluk oleh orang
buta,” teriak lagi Datuk Buta. Mengetahui kelemahan Pendekar Katung itu, Bujang
Kelana segera mengadakan perlawanan. Dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki, ia
berbalik menyerang. Setelah para pengawal Pendekar Katung terdesak, dan bahkan
sebagian lari tunggang- langgang menuju ke semak- belukar, dengan secepat kilat
Bujang Kelana segera menusukkan senjatanya bertubi-tubi ke bagian perut dan
dada Pendekar Katung. Seketika itu pula, Pendekar Katung langsung lemas tidak
berdaya. Datuk Buta pun segera menghempaskan tubuh Pendekar Katung ke atas
pasir. ”Hei, Katung! Kamu tahu siapa aku. Aku adalah Ayah Suri yang pernah kamu
bunuh dan buang di tengah hutan. Tapi karena umurku masih dipanjangkan oleh
Yang Kuasa, aku masih bisa hidup hingga sekarang,” ujar Datuk Buta. ”Gurumulah
yang telah menyelamatkanku. Beliau juga yang telah memberitahukan kepadaku
tentang kelemahanmu,” tambah Datuk Buta.
Pendekar Katung yang
sudah sekarat itu tidak dapat memberikan jawaban sedikit pun. Beberapa saat
kemudian, Pendekar Katung pun mengembuskan nafas terakhirnya. Melihat tuannya
mati, beberapa pengawalnya yang masih tersisa langsung melarikan diri. ”Terima
kasih, Kelana, karena telah membantuku menyingkirkan Pendekar Katung. Mari kita
temui Intan Suri!” ajak Datuk Buta. Namun, baru akan beranjak dari tempat
mereka, tiba-tiba Intan Suri keluar dari balik semak-semak dengan berlumuran
darah. ”Suri, apa yang terjadi denganmu?” tanya Bujang Kelana panik. ”Seorang
pengawal Pendekar Katung mengetahui tempat persembunyianku di balik semak-semak
itu. Ia hendak membunuhku, karena mengetahui aku yang telah menukar ayam jago
tuannya, ” jelas Suri dengan nada lemas. ”Bang Bujang! Maafkan Suri, Bang! Suri
mencintai Abang, tapi mungkin kita tidak ditakdirkan hidup bersama,” sambung
Suri meneteskan air mata. ”Jangan berkata begitu, Dik! Kita pasti akan hidup
bersama, karena Abang juga sangat mencintai Adik, ” ungkap Bujang Kelana dengan
sedih. ”Bang, tolong jaga negeri dan penduduk Serimba serta Pantai Solop ini
agar tetap aman dan damai,” pesan Suri terbatuk-batuk. Beberapa saat kemudian,
denyut nadi Intan Suri berhenti berdetak. Rupanya pesan itu merupakan pesan
terakhir Intan Suri sebelum mengembuskan nafas terakhirnya. Mengetahui
kekasihnya telah meninggal dunia, Bujang Kelana berteriak dengan
sekeras-kerasnya. ”Intan Suriiiiiii.....!!!” Usai berteriak, Bujang Kelana
terdiam kaku dengan air mata berlinang memandang wajah kekasihnya yang cantik
jelita itu. ”Sudahlah, Nak Kelana! Aku juga sangat sedih ditinggal oleh putri
semata wayangku. Aku merasa sangat berdosa, karena tidak dapat menjaganya
dengan baik,” ucap Datuk Buta dengan penuh penyesalan. ”Sebaiknya jenazah Intan
Suri kita bawa ke pondokku yang berada di di tengah hutan ini!” ujar Datuk
Buta. Usai menyiapkan segala sesuatunya, mereka pun segera menguburkan jenazah
Intan Suri di dekat pondok Datuk Buta. ”Datuk! Kelana juga akan pergi dari
negeri ini sebagaimana Intan Suri telah pergi untuk selama-lamanya, ” ujar
Bujang Kelana kepada Datuk Buta. Setelah berkata begitu, Bujang Kelana
mengambil sangkar ayam yang terletak di samping pondok Datuk Buta.
Kemudian ia bergegas
menuju ke Pantai Solop. Sesampai di pantai, dengan sekuat tenaga ia melemparkan
sangkar ayam itu ke tengah laut. ”Aku bersumpah, walaupun sangkar ayam itu akan
menjadi pulau, aku tidak akan kembali ke negeri ini!” teriak Bujang Kelana
bersumpah. Setelah itu, Bujang Kelana pun meninggalkan Pantai Solop yang indah
itu. Ia pergi berkelana mengikuti ke mana kakinya melangkah tanpa arah dan
tujuan. Ia tidak ingin tinggal di Pantai Solop, karena takut teringat dengan
kekasihnya yang telah pergi untuk selama-lamanya. Konon, setelah bertahun-
tahun Bujang Kelana meninggalkan Pantai Solop, sangkar ayam yang dilemparkan ke
tengah laut itu benar-benar menjelma menjadi sebuah pulau. Pulau itu berada
tepat berhadapan dengan Pantai Solop. Oleh masyarakat setempat, pulau itu
mereka beri nama Pulau Sangkar Ayam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar