Kabupaten
Indragiri Hilir masuk dalam wilayah Provinsi Riau, Indonesia, dan dijuluki
sebagai “Negeri Seribu Parit”. Di daerah ini rawa-rawa terhampar luas dan
sungai-sungai terbentang hampir keseluruh wilayah kecamatan. Sungai terbesar di
daerah ini adalah Sungai Indragiri yang berhulu di Pegunungan Bukit Barisan
(Sumatera Barat) dan bermuara di Selat Berhala, sedangkan sungai-sungai lainnya
hanya merupakan anak sungai dari Sungai Indragiri. Salah satu anak sungai yang sangat terkenal
di Indragiri Hilir adalah Sungai Batang Tuaka yang berada di Kecamatan Batang
Tuaka.
Konon, nama
“Sungai Batang Tuaka” diambil dari sebuah cerita legenda yang populer di
kalangan masyarakat Indragiri Hilir. Legenda tersebut mengisahkan tentang seorang
anak yang durhaka kepada emaknya, sehingga Tuhan menghukum anak itu karena
kedurhakaannya. Siapakah anak durhaka itu? Bagaimana anak itu durhaka kepada
emaknya? Hukuman apa yang Tuhan berikan padanya? Untuk mengetahui jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut, ikuti kisahnya dalam Legenda Batang Tuaka.
Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau, Indonesia, hiduplah
seorang janda tua bersama anak laki-lakinya bernama Tuaka. Mereka hidup berdua
disebuah gubuk yang terletak dimuara sebuah sungai (tepatnya di muara sungai
Indragiri Hilir). Mereka tak punya sanak-saudara dan harta sedikitpun. Meskipun
hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk hidup sehari-hari Tuaka
membantu emaknya mengumpulkan kayu api dari hutan-hutan disekitar tempat
tinggal mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia, dengan demikian emaknya
harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya, Tuaka.
Suatu hari, Tuaka
bersama emaknya pergi ke hutan disekitar sungai. Mereka mencari kayu api untuk
dijual dan untuk memasak sehari-hari. Setelah memperoleh kayu api cukup banyak,
mereka berdua akhirnya pulang. “Mak, kalau Emak lelah biarlah Tuaka saja yang
menggendong kayu apinya”, kata Tuaka saat melihat emaknya kelelahan. “Tak apa,
Tuaka. Emak masih kuat. Lagi pula, kayu bakar yang ada padamu juga banyak,”
jawab Emak Tuaka sambil melanjutkan langkahnya.
Ditengah perjalanan pulang, Tuaka
dan emaknya dikejutkan oleh suara desisan yang cukup keras. “Mak! Suara apa
itu?”, tanya Tuaka pada emaknya. “Sepertinya itu suara ular berdesis”, jawab
emaknya. Ternyata benar, tak jauh dari mereka, dari arah tebing sungai tampak
dua ekor ular besar sedang bertarung. Tampaknya mereka sedang memperebutkan
sebuah benda. “Tuaka sembunyilah. Ada ular besar yang sedang berkelahi”,
perintah Emak Tuaka. Tuaka dan emaknya segera berlindung di balik sebuah pohon
yang cukup besar. Dari balik pohon itu, Tuaka dan emaknya terus menyaksikan dua
ekor ular itu saling bergumul dan belit-membelit. “Apa yang mereka perebutkan,
Mak?”, tanya Tuaka. “Mak juga tak tahu! Diamlah Tuaka, nanti mereka mengetahui
keberadaan kita”, jawab Emak Tuaka dengan suara berbisik. Tak lama kemudian,
perkelahian kedua ekor ular tersebut akhirnya usai. Tuaka dan emaknya keluar
dari balik pohon, lalu mendekat ke tempat kejadian itu. Mereka mendapati salah
satu ular sudah mati, sedangkan ular lainnya terluka. Ular yang terluka itu
menggigit sebuah benda berkilau, yang ternyata adalah sebutir permata (kemala)
yang sangat indah. Ular itu tampak kesakitan oleh luka-lukanya. “Mak, kasihan
ular yang terluka itu. Mari kita tolong”, kata Tuaka kepada emaknya dengan nada
mengajak. “Ya, mari kita bawa pulang, supaya kita bias obati di rumah”, jawab
Emak Tuaka. Tuaka memasukkan ular itu kedalam keranjang yang dibawa emaknya, lalu
memanggulnya pulang. Sampai di rumah, Emak Tuaka segera mencari daun-daunan
yang berkhasiat, menumbuknya, lalu membubuhkannya pada luka-luka di tubuh ular
itu, sedangkan Tuak sibuk minum air sejuk.
Beberapa hari
kemudian, ular yang sudah mulau sembuh itu tiba-tiba hilang dari keranjang.
Permata yang selalu dia lindungi di dalam lingkaran badannya ditinggalkan di
dalam keranjang. Tuaka dan emaknya terheran-heran, lalu mereka mengamati
permata itu dengan kagum. “Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak?”
tanya Tuaka kepada emaknya. “Barangkali dia ingin berterima kasih kepada kita,
karena kita sudah menolongnya. Sebaiknya kita jual saja permata ini kepada
saudagar. Uangnya kita gunakan untuk berdagang supaya kita tidak hidup miskin
lagi”, jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur. Tuaka pun setuju dengan tawaran
emakanya.Keesokan harinya, Tuaka pergi ke Bandar yang ramai dengan para saudagar. Sesampai di Bandar, Tuaka
berkeliling kesana-kemari mencari saudagar yang berani membeli permatanya
dengan harga yang tinggi. Hampir semua saudagar di Bandar itu ia tawarkan,
namun tak ada yang berani membelinya. Tuaka pun mulaii putus asa. Tuaka berniat
membawa pulang permata itu kepada emaknya.
Namun, ketika
sampai di ujung Bandar, tiba-tiba ia melihat seorang saudagar yang sepertinya
belum ia tawarkan. Tuaka menghampiri saudagar itu, kemudian menawarkan
permatanya dengan harga yang tinggi. Tampaknya, saudagar itu sangat tertarik
setelah mengamati permata berkilau itu. “Aduhai elok sangat batu permata ini!
Aku sangat ingin memilikinya. Harga yang kau tawarkan itu memang tinggi, tapi
aku tetap akan membelinya”, kata sang Saudagar. Kalau begitu, apa lagi yang
Tuan tunggu? Tuan hanya tinggal membayarnya”, desak Tuaka dengan hati berdebar
karena bahagia. “Uang yang aku bawa tak cukup, Nak! Jika kamu mau, kamu boleh
ikut dengan ku ke Temasik untuk mengambil kekurangannya”, kata sang saudagar.
Tuaka tampak termenung sejenak memikirkan tawaran sang Saudagar. “Ehm, baiklah
Tuan. Saya nak ikut Tuan ke Temasik”, jawab Tuaka. Setelah itu, Tuaka pulang
kerumahnya untuk menceritakan masalah ini pada emaknya. Akhirnya, Emak Tuaka
mengizinkannya berangkat ke Temasik (Singapura). Tuaka dan saudagar kaya itu
berlayar menuju temasik. Sepanjang perjalanan, Tuaka tak henti-hentinya
membayangkan betapa banyak uang yang akan diperolehnya nanti.Setibanya di
Temasik, sang saudagar membayar uang pembelian permata kepada Tuaka. Karena
uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada ibu dan kampong halamannya. Dia
menetap di Temasik. Beberapa tahun kemudian dia telah menjadi saudagar kaya.
Dia menikah dengan seorang gadis elok rupawan. Rumah Tuaka sangat lah megah,
kapalnya pun banyak. Hidupnya bergelimang dengan kemewahan. Dia tidak lagi
peduli emaknya yang miskin dan hidup sendirian, entah makan entah tidak. Suatu
ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah Tuaka berlabuh di kampung
Tuaka. Sebenarnya Tuaka masih ingat dengan kampung halaman tersebut. Akan
tetapi, rupanya dia enggan menceritakan kepada istrinya bahwa di kampung yang
mereka singgahi tersebut emaknya masih hidup di sebuah gubuk tua. Dia tak mau
istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita yang sudah
tua-renta miskin.
Sementara itu ,
berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh emaknya. Emaknya bergegas
menyongsong kedatangan anak lelakinya yang bertahun-tahun tak terdengar kabar
beritanya tersebut. Karena rindu tak terbendung ingin bertemu anaknya, Emak
Tuaka pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka. “Tuaka anakku. Emak sangat
merindukanmu, Nak!” teriak Emak Tuaka saat melihat Tuaka dan istrinya di atas
kapal megah itu, “Siapa gerangan wanita tua itu, Kakanda? Mengapa dia menyebut
Kakanda sebagai anaknya?” tanya istri Tuaka dengan wajah tidak senang.Tuaka
terkejut buka kepalang melihat emaknya di atas sampan berteriak memanggilnya.
Dia tahu wanita dengan pakaian compang-camping itu memang emaknya, tetapi dia
tak sudi mengakuinya. Dia sangat malu pada istrinya. “Hei, jauhkan wanita
miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku
sebagai emakku”, teriak Tuaka dari atas kapal. “Ya, usir dia jauh-jauh dari
sini”, tambah istri Tuaka sambil bertolak pinggang. Mendengar perintah dari
tuannya, anak buah Tuaka segera mengusir wanita miskin nan malang itu menjauh
dari kapal. Emak Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis dia bersampan menjauhi
kapal Tuaka. “Oh, Tuhan. Ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku.
Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya”, ratap emak Tuaka.
Rupanya Tuhan
mendengar doa Emak Tuaka. Sesaat setelah doa Emak Tuaka terucap, tiba-tiba
Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia berubah
menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat
anaknya berubah menjadi burung. Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai
seorang ibu ia sangat mencintai anaknya. Burung elang dan burung punai tersebut
terbang berputar-putar di atas muara
sungai sambil menangis. Air mata kedua burung itu menetes, membentuk sungai
kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai
Tuaka. Kemudian oleh masyarakat setempat mengganti kata “sungai” ke dalam
bahasa Melayu menjadi “Batang”, sehingga nama “Sungai Tuaka” berubah menjadi
“Batang Tuaka”.
Sejak itu pula,
daerah sekitar muara sungai tersebut diberi nama Batang Tuaka yang kini dikenal
dengan Kecamatan Batang Tuaka yang masuk wilayah Kabupaten Indragiri Hilir,
Riau, Indonesia. Masyarakat Melayu Indragiri, baik hilir maupun hulu sungai,
meyakini legenda ini benar-benar pernah terjadi pada zaman dahulu kala sekitar
muara Sungai Indragiri. Jika ada suara jerit elang berkulik pada siang hari
sekitar muara Sungai Tuaka, masyarakat setempat meyakini bahwa suara burung
tersebut sebagai penjelamaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar