Minggu, 13 Desember 2015

Laut, Langit, Aku, Kamu



Jika ada suatu hal yg membingungkan tentang perpisahan, ialah kesamaan.
Berpisah meski sama.

Refleksi ironi antara langit dan laut yg sama-sama biru, sama-sama menenangkan, sama-sama punya daya tarik, sama-sama membuat orang berdecak kagum, tapi sayangnya sama-sama tak akan pernah bersatu.

Bayangkan koneksi yang mereka terus bangun, ketika laut mengirim uap-uap cinta melalui evaporasi, titik-titik air itu tiba di langit untuk selanjutnya dikondensasi, seolah memahami langit merubah fasanya agar lebih ia mengerti.
Ketika mencapai koalensi dan semakin mengganda akibat turbulensi, langit seolah menangis karena ia menyadari mereka tak akan pernah bisa jadi.
Butir-butir air itu akhirnya turun membasahi bumi, menjalar, mengalir, kembali ke pangkuan laut.

Ketika sore hari tiba ujung mereka bertemu, seolah mengerti situasi, mereka sendu, semburat jingga dari mataharipun hadir mengiringi padamnya kebiruan mereka.

Bukan karena mereka tak ingin bersatu, tapi memang takdir memaksanya demikian.

Tidak seperti air dan api yg memang sedari awal diciptakan untuk saling menghancurkan, langit dan laut memang elegi dalam sebuah kehidupan, ketika dua anak adam ditakdirkan berpisah, meski punya banyak kesamaan..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar