Tampilkan postingan dengan label Prosa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prosa. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Agustus 2016

Jiwa



Karena kau memiliki jiwa
Di tubuhmu itu, kau menyimpannya.

Anggaplah kau sedang meratapi jiwamu itu. Kenapa? Kenapa semua ini harus terjadi?
Coba ingat malam demi malam yang kau lalui tanpa bintang, tak pernah rasanya kau dirundung pedih seperti ini.

Tapi kenapa sekarang kau pilu?
Kau masih belum mau menikmati takdir? Kau masih berusaha menghindari garis akhir?
Bukan alasan yang kau butuhkan sebenarnya, kau hanya tak bisa mengesampingkan egomu demi dirinya.

Lihatlah
lihat dirimu sendiri
lihat dia.

Kau mungkin mau melakukan semuanya, tak terkecuali untuk merugi, untuk mati, tapi tidak untuk pergi
Bongkahan hatimu bahkan tidak hancur menjadi keping, mungkin sudah bertransformasi menjadi debu atau suspensi. Sangking patahnya, sakitnya, pedihnya.

Kau tak akan terbalas, berkacalah, ukur bayang-bayang.
Untuk sekian lama kau bermenung, sekian lama diam seribu bahasa, sekian lama kau tak bergerak, namun terus mengeluarkan air mata.

Kau mencintainya sampai mati, titik. Tak peduli orang berkata apa, tak peduli jika ditolak oleh semesta, bahkan jika berujung bencana. Karena memang kau tidak pedulian? Atau kasihmu tulus?
Apa artinya jika ia tidak pernah mau?

Jika bisa, kau mungkin tak lagi ingin memiliki jiwa
Di tubuhmu itu, kau ingin menghilangkannya..

Minggu, 13 Desember 2015

Laut, Langit, Aku, Kamu



Jika ada suatu hal yg membingungkan tentang perpisahan, ialah kesamaan.
Berpisah meski sama.

Refleksi ironi antara langit dan laut yg sama-sama biru, sama-sama menenangkan, sama-sama punya daya tarik, sama-sama membuat orang berdecak kagum, tapi sayangnya sama-sama tak akan pernah bersatu.

Bayangkan koneksi yang mereka terus bangun, ketika laut mengirim uap-uap cinta melalui evaporasi, titik-titik air itu tiba di langit untuk selanjutnya dikondensasi, seolah memahami langit merubah fasanya agar lebih ia mengerti.
Ketika mencapai koalensi dan semakin mengganda akibat turbulensi, langit seolah menangis karena ia menyadari mereka tak akan pernah bisa jadi.
Butir-butir air itu akhirnya turun membasahi bumi, menjalar, mengalir, kembali ke pangkuan laut.

Ketika sore hari tiba ujung mereka bertemu, seolah mengerti situasi, mereka sendu, semburat jingga dari mataharipun hadir mengiringi padamnya kebiruan mereka.

Bukan karena mereka tak ingin bersatu, tapi memang takdir memaksanya demikian.

Tidak seperti air dan api yg memang sedari awal diciptakan untuk saling menghancurkan, langit dan laut memang elegi dalam sebuah kehidupan, ketika dua anak adam ditakdirkan berpisah, meski punya banyak kesamaan..


Sabtu, 12 Desember 2015

Tak Tersentuh Supernova


Dimanapun galaksinya, bintang tetap bersinar bukan?
Milky way, Magellan, Andromeda?

Kau mungkin matahari,
bisa saja Sirius ataupun Canopus

Kau mungkin butuh 8 menit untuk tiba di bumi,
atau 4 tahun dari Alpha Centauri

Kau mungkin terlalu jauh, Ekliptika mu juga tak teratur
Tak sama sekali bisa kuikuti meski aku sudah mencapai Perihelion ku

Kau mungkin tak panas terik menyilaukan seperti Fotosfera,
tapi kau juga tak pernah dingin membeku seperti Boomerang Nebula

Bintang selalu bersinar ya..
lalu ke galaksi mana kucari bintang yang sama seperti mu?
Karena satu hal yang pasti,
kau seperti tak tersentuh Supernova.